Sodakoh
Adapun istilah shadaqah, maknanya berkisar pada 3 (tiga) pengertian berikut ini :
Pertama, shadaqah adalah pemberian harta kepada orang-orang fakir,
orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima
shadaqah, tanpa disertai imbalan[1].
Shadaqah ini hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Karena itu, untuk
membedakannya dengan zakat yang hukumnya wajib, para fuqaha menggunakan
istilah shadaqah tathawwu’ atau ash shadaqah an nafilah[2]
Sedang untuk zakat, dipakai istilah ash shadaqah al mafrudhah, Namun
seperti uraian Az Zuhaili, hukum sunnah ini bisa menjadi haram, bila
diketahui bahwa penerima shadaqah akan memanfaatkannya pada yang haram,
sesuai kaidah syara’ :
“Al wasilatu ilal haram haram” “Segala perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram pula”.
Bisa pula hukumnya menjadi wajib, misalnya untuk menolong orang yang
berada dalam keadaan terpaksa (mudhthar) yang amat membutuhkan
pertolongan, misalnya berupa makanan atau pakaian. Menolong mereka
adalah untuk menghilangkan dharar (izalah adh dharar) yang wajib
hukumnya. Jika kewajiban ini tak dapat terlaksana kecuali
denganshadaqah, maka shadaqah menjadi wajib hukumnya, sesuai kaidah
syara’ :
“ Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib”
“Segala sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tak terlaksana sempurna, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya”
Dalam ‘urf (kebiasaan) para fuqaha, sebagaimana dapat dikaji dalam
kitab-kitab fiqh berbagai madzhab, jika disebut istilah shadaqah secara
mutlak, maka yang dimaksudkan adalah shadaqah dalam arti yang pertama
ini –yang hukumnya sunnah– bukan zakat.
Kedua, shadaqah adalah identik dengan zakat[3].
Ini merupakan makna kedua dari shadaqah, sebab dalam nash-nash syara’
terdapat lafazh “shadaqah” yang berarti zakat. Misalnya firman Allah SWT
“Sesungguhnya zakat-zakat itu adalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat …” (QS At Taubah : 60)
Dalam ayat tersebut, “zakat-zakat” diungkapkan dengan lafazh “ash
shadaqaat”. Begitu pula sabda Nabi SAW kepada Mu’adz bin Jabal RA ketika
dia diutus Nabi ke Yaman :
“…beritahukanlah kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam),
bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang
kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang fakir di antara
mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada hadits di atas, kata “zakat” diungkapkan dengan kata “shadaqah”.
Berdasarkan nash-nash ini dan yang semisalnya, shadaqah merupakan
kata lain dari zakat. Namun demikian, penggunaan kata shadaqah dalam
arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak. Artinya, untuk mengartikan
shadaqah sebagai zakat, dibutuhkan qarinah (indikasi) yang menunjukkan
bahwa kata shadaqah dalam konteks ayat atau hadits tertentu artinya
adalah zakat yang berhukum wajib, bukan shadaqah tathawwu’ yang berhukum
sunnah. Pada ayat ke-60 surat At Taubah di atas, lafazh “ash shadaqaat”
diartikan sebagai zakat (yang hukumnya wajib), karena pada ujung ayat
terdapat ungkapan “faridhatan minallah” (sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah). Ungkapan ini merupakan qarinah, yang menunjukkan
bahwa yang dimaksud dengan lafazh “ash shadaqaat” dalam ayat tadi,
adalah zakat yang wajib, bukan shadaqah yang lain-lain.
Begitu pula pada hadits Mu’adz, kata “shadaqah” diartikan sebagai
zakat, karena pada awal hadits terdapat lafazh “iftaradha”
(mewajibkan/memfardhukan). Ini merupakan qarinah bahwa yang dimaksud
dengan “shadaqah” pada hadits itu, adalah zakat, bukan yang lain.
Dengan demikian, kata “shadaqah” tidak dapat diartikan sebagai “zakat”, kecuali bila terdapat qarinah yang menunjukkannya.
Ketiga, shadaqah adalah sesuatu yang ma’ruf (benar dalam pandangan
syara’). Pengertian ini didasarkan pada hadits shahih riwayat Imam
Muslim bahwa Nabi SAW bersabda : “Kullu ma’rufin shadaqah” (Setiap
kebajikan, adalah shadaqah).
Berdasarkan ini, maka mencegah diri dari perbuatan maksiat adalah
shadaqah, memberi nafkah kepada keluarga adalah shadaqah, beramar ma’ruf
nahi munkar adalah shadaqah, menumpahkan syahwat kepada isteri adalah
shadaqah, dan tersenyum kepada sesama muslim pun adalah juga shadaqah.
Agaknya arti shadaqah yang sangat luas inilah yang dimaksudkan oleh
Al Jurjani ketika beliau mendefiniskan shadaqah dalam kitabnya At
Ta’rifaat. Menurut beliau, shadaqah adalah segala pemberian yang
dengannya kita mengharap pahala dari Allah SWT (Al Jurjani, tt : 132).
Pemberian (al ‘athiyah) di sini dapat diartikan secara luas, baik
pemberian yang berupa harta maupun pemberian yang berupa suatu sikap
atau perbuatan baik.
Jika demikian halnya, berarti membayar zakat dan bershadaqah (harta)
pun bisa dimasukkan dalam pengertian di atas. Tentu saja, makna yang
demikian ini bisa menimbulkan kerancuan dengan arti shadaqah yang
pertama atau kedua, dikarenakan maknanya yang amat luas. Karena itu,
ketika Imam An Nawawi dalam kitabnya Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi
mensyarah hadits di atas (“Kullu ma’rufin shadaqah”) beliau
mengisyaratkan bahwa shadaqah di sini memiliki arti majazi
(kiasan/metaforis), bukan arti yang hakiki (arti asal/sebenarnya).
Menurut beliau, segala perbuatan baik dihitung sebagai shadaqah, karena
disamakan dengan shadaqah (berupa harta) dari segi pahalanya (min haitsu
tsawab). Misalnya, mencegah diri dari perbuatan dosa disebut shadaqah,
karena perbuatan ini berpahala sebagaimana halnya shadaqah. Amar ma’ruf
nahi munkar disebut shadaqah, karena aktivitas ini berpahala seperti
halnya shadaqah. Demikian seterusnya[4]
Sebagaimana halnya makna shadaqah yang kedua, makna shadaqah yang
ketiga ini pun bersifat tidak mutlak. Maksudnya, jika dalam sebuah ayat
atau hadits terdapat kata “shadaqah”, tak otomatis dia bermakna segala
sesuatu yang ma’ruf, kecuali jika terdapat qarinah yang menunjukkannya.
Sebab sudah menjadi hal yang lazim dan masyhur dalam ilmu ushul fiqih,
bahwa suatu lafazh pada awalnya harus diartikan sesuai makna hakikinya.
Tidaklah dialihkan maknanya menjadi makna majazi, kecuali jika terdapat
qarinah. Sebagaimana diungkapkan oleh An Nabhani dan para ulama lain,
terdapat sebuah kaidah ushul menyebutkan :
“Al Ashlu fil kalaam al haqiqah.” “Pada asalnya suatu kata harus dirtikan secara hakiki (makna aslinya).”[5]
Namun demikian, bisa saja lafazh “shadaqah” dalam satu nash bisa
memiliki lebih dari satu makna, tergantung dari qarinah yang
menunjukkannya. Maka bisa saja, “shadaqah” dalam satu nash berarti zakat
sekaligus berarti shadaqah sunnah. Misalnya firman Allah :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (At Taubah : 103)
Kata “shadaqah” pada ayat di atas dapat diartikan “zakat”, karena
kalimat sesudahnya “kamu membersihkan dan mensucikan mereka” menunjukkan
makna bahasa dari zakat yaitu “that-hiir” (mensucikan). Dapat pula
diartikan sebagai “shadaqah” (yang sunnah), karena asababun nuzulnya
berkaitan dengan harta shadaqah, bukan zakat. Menurut Ibnu Katsir (1989 :
400-401) ayat ini turun sehubungan dengan beberapa orang yang
tertinggal dari Perang Tabuk, lalu bertobat seraya berusaha menginfakkan
hartanya. Jadi penginfakan harta mereka, lebih bermakna sebagai
“penebus” dosa daripada zakat.
Karena itu, Ibnu Katsir berpendapat bahwa kata “shadaqah” dalam ayat
di atas bermakna umum, bisa shadaqah wajib (zakat) atau shadaqah sunnah
(Ibnu Katsir, 1989 : 400). As Sayyid As Sabiq dalam kitabnya Fiqhus
Sunnah Juz I (1992 : 277) juga menyatakan, “shadaqah” dalam ayat di atas
dapat bermakna zakat yang wajib, maupun shadaqah tathawwu’.