Ananiah (egoisme)
Ananiyah berasal dari kata ana artinya ‘aku’, Ananiyah berarti
‘keakuan’. Sifat ananiyah ini biasa disebut egoistis yaitu sikap hidup
yang terlalu mementingkan diri sendiri bahkan jika perlu dengan
mengorbankan kepentingan orang lain. Sikap ini adalah sikap hidup yang
tercela, karena cenderung berbuat yang dapat merusak tatanan pergaulan
kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari penyakit mental ini
dapat diketahui dari sikapnya yang selalu mementingkan dan mengutamakan
kepentingan dirinya diatas segala-galanya, tanpa mengindahkan
kepentingan orang lain.
Memanglah manusia ini dilahirkan sebagai individu yang bebas dan unique.
Perangai mendahulukan diri terhadap orang lain ini kenyataannya memang
perlu, jika manusia ingin terus wujud di dunia ini. Hak mendahulukan
diri ini pun diakui dan dibenarkan oleh Allah SWT, namun ada tempat dan
batasnya. Hak ini, yang biasa disebut hak-hak pribadi (privacy), jelas
diakui sepenuhnya oleh Allah SWT.
Hak mementingkan atau mendahulukan kepentingan diri ini dianjurkan Allah
agar disalurkan kepada usaha lebih mendekatkan diri kepada Allah
(taqarrub ila Allah) dengan 'ibadah yang lebih banyak dan lebih ikhlash.
Usaha meningkatkan kualitas iman sedemikian sehingga mencapai tingkat
taqwa yang istiqamah sangatlah digalakkan oleh RasuluLlah SAW, dan
diulang-ulang di dalam al-Qur'an.
Di samping itu kita pun diwajibkan pula menghormati hak individu orang
lain. Misalnya di dalam al-Qur'an diterangkan, bahwa jika akan
berkunjung ke rumah orang lain, maka kita diharamkan memasuki rumah
orang itu sebelum mendapat izin terlebih dahulu dari penghuni rumah.
Caranya minta izin itu ialah dengan memberi salam, dan menunggu jawaban.
Jika sesudah tiga kali memberi salam tidak juga mendapat jawaban, maka
itu tanda bahwa kita tidak diterima oleh yang punya rumah, maka kita
wajib membatalkan niat akan berkunjung itu. Ini salah satu hukum yang
menjamin kemerdekaan dan hak individu.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu masuki rumah yang bukan
rumahmu, kecuali sesudah mendapat izin dari, dan sesudah mengucapkan
salaam kepada penghuninya. Hal ini terbaik bagi kamu jika kamu mengerti.
Sekiranya tidak Kamu dapati seorang pria pun di dalamnya, maka jangan
kamu masuki sampai kamu mendapat izin, dan jika dikatakan kepadamu
'pergilah' maka hendaklah kamu pergi; yang demikian itu lebih bersih
buat kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tindak tandukmu." (Q. 24 :
27,28).
Kenyataan lain yang harus pula diakui oleh manusia ialah, bahwa ia tak
mungkin hidup sendiri di muka bumi ini. Setiap orang membutuhkan yang
lainnya. Oleh karena itu Allah telah rnenciptakan hukum yang menentukan
batas-batas antara pemenuhan kepentingan diri terhadap kepentingan
bersama (masyarakat) secara seimbang dan serasi (harmonis).
Kita lahir sebagai individu, dan akan mati sebagai individu. Di dalam
masa hidup yang kita tempuh di antara lahir dan mati itu kita akan
terikat oleh ketentuan-ketentuan bermasyarakat, yang tak mungkin pula
kita abaikan demi kelestarian hidup bersama itu. Batas-batas antara
kedua kepentingan ini akan sangat sukar jika harus ditentukan oleh
manusia sendiri, karena setiap diri akan cenderung lebih mendahulukan
kepentingan dirinya terhadap kepentingan orang lain. Setiap orang
cenderung akan berpikir subjective apabila menyangkut kepentingan
dirinya. Oleh karena itulah, maka peranan hukum Allah, Yang Maha
Mengetahui akan lekak-liku jiwa manusia, dalam hal ini muthlak perlu.
Obatnya ialah 'ibadah yang ihsan dan khusyu', sehingga kita betul-betul
bisa merasa ridha menerima ketentuan Allah terhadap diri kita
masing-masing. 'Ibadah yang ihsan ini berfungsi membersihkan pribadi ini
dari sikap ananiah ini. 'Ibadah yang ihsan telah diterangkan oleh
RasuluLlah sebagai merasakan bahwa kita melihat Allah dalam 'Ibadah itu,
karena walaupun tak mungkin melihat-Nya, tapi kita dapat merasakan,
bahwa Allah senantiasa melihat dan memperhatikan perangai kita. 'Ibadah
yang ihsan ini akan menumbuhkan rasa dekat dan mesra dengan Allah,
sehingga menimbulkan rasa cinta kepada-Nya.
Rasa cinta ini akan menumbuhkan percaya diri yang sangat tinggi di dalam
pribadi kita, sehingga rasa ketidak-stabilan oleh karena
ketidak-pastian tadi menjadi sirna sama sekali, maka bersihlah diri dari
sikap was-was atau ragu akan kasih sayang Allah, sebagaimana
difirmankan Allah di dalam al-Qur'an:
"Demi pribadi dan penyempurnaannya; yang berpotensi sesat dan bertaqwa.
Sungguh menanglah mereka yang mensucikannya; Sungguh rugilah mereka yang
mengotorinya." (Q.91 : 7-10)
Dengan demikian ananiah atau jalan pintas untuk mengatasi rasa
ketidak-pastian tadi tidak akan tumbuh di dalam pribadi yang mau
ber'ibadah ihsan dan khusyu'. Berdasarkan ayat-ayat ini, jelaslah bagi
mereka yang sadar, bahwa pensucian pribadi melalui 'ibadah yang ihsan
dan khusyu' bukanlah sekadar kewajiban pribadi, tapi lebih merupakan
suatu kebutuhan muthlak, yang tak mungkin diabaikan.