Rabu, 17 Mei 2017

                                     Ananiah (egoisme)



Ananiyah berasal dari kata ana artinya ‘aku’, Ananiyah berarti ‘keakuan’. Sifat ananiyah ini biasa disebut egoistis yaitu sikap hidup yang terlalu mementingkan diri sendiri bahkan jika perlu dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Sikap ini adalah sikap hidup yang tercela, karena cenderung berbuat yang dapat merusak tatanan pergaulan kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari penyakit mental ini dapat diketahui dari sikapnya yang selalu mementingkan dan mengutamakan kepentingan dirinya diatas segala-galanya, tanpa mengindahkan kepentingan orang lain.
Memanglah manusia ini dilahirkan sebagai individu yang bebas dan unique. Perangai mendahulukan diri terhadap orang lain ini kenyataannya memang perlu, jika manusia ingin terus wujud di dunia ini. Hak mendahulukan diri ini pun diakui dan dibenarkan oleh Allah SWT, namun ada tempat dan batasnya. Hak ini, yang biasa disebut hak-hak pribadi (privacy), jelas diakui sepenuhnya oleh Allah SWT.

Hak mementingkan atau mendahulukan kepentingan diri ini dianjurkan Allah agar disalurkan kepada usaha lebih mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) dengan 'ibadah yang lebih banyak dan lebih ikhlash. Usaha meningkatkan kualitas iman sedemikian sehingga mencapai tingkat taqwa yang istiqamah sangatlah digalakkan oleh RasuluLlah SAW, dan diulang-ulang di dalam al-Qur'an.
Di samping itu kita pun diwajibkan pula menghormati hak individu orang lain. Misalnya di dalam al-Qur'an diterangkan, bahwa jika akan berkunjung ke rumah orang lain, maka kita diharamkan memasuki rumah orang itu sebelum mendapat izin terlebih dahulu dari penghuni rumah. Caranya minta izin itu ialah dengan memberi salam, dan menunggu jawaban. Jika sesudah tiga kali memberi salam tidak juga mendapat jawaban, maka itu tanda bahwa kita tidak diterima oleh yang punya rumah, maka kita wajib membatalkan niat akan berkunjung itu. Ini salah satu hukum yang menjamin kemerdekaan dan hak individu.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu masuki rumah yang bukan rumahmu, kecuali sesudah mendapat izin dari, dan sesudah mengucapkan salaam kepada penghuninya. Hal ini terbaik bagi kamu jika kamu mengerti. Sekiranya tidak Kamu dapati seorang pria pun di dalamnya, maka jangan kamu masuki sampai kamu mendapat izin, dan jika dikatakan kepadamu 'pergilah' maka hendaklah kamu pergi; yang demikian itu lebih bersih buat kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tindak tandukmu." (Q. 24 : 27,28).
Kenyataan lain yang harus pula diakui oleh manusia ialah, bahwa ia tak mungkin hidup sendiri di muka bumi ini. Setiap orang membutuhkan yang lainnya. Oleh karena itu Allah telah rnenciptakan hukum yang menentukan batas-batas antara pemenuhan kepentingan diri terhadap kepentingan bersama (masyarakat) secara seimbang dan serasi (harmonis).
Kita lahir sebagai individu, dan akan mati sebagai individu. Di dalam masa hidup yang kita tempuh di antara lahir dan mati itu kita akan terikat oleh ketentuan-ketentuan bermasyarakat, yang tak mungkin pula kita abaikan demi kelestarian hidup bersama itu. Batas-batas antara kedua kepentingan ini akan sangat sukar jika harus ditentukan oleh manusia sendiri, karena setiap diri akan cenderung lebih mendahulukan kepentingan dirinya terhadap kepentingan orang lain. Setiap orang cenderung akan berpikir subjective apabila menyangkut kepentingan dirinya. Oleh karena itulah, maka peranan hukum Allah, Yang Maha Mengetahui akan lekak-liku jiwa manusia, dalam hal ini muthlak perlu.
Obatnya ialah 'ibadah yang ihsan dan khusyu', sehingga kita betul-betul bisa merasa ridha menerima ketentuan Allah terhadap diri kita masing-masing. 'Ibadah yang ihsan ini berfungsi membersihkan pribadi ini dari sikap ananiah ini. 'Ibadah yang ihsan telah diterangkan oleh RasuluLlah sebagai merasakan bahwa kita melihat Allah dalam 'Ibadah itu, karena walaupun tak mungkin melihat-Nya, tapi kita dapat merasakan, bahwa Allah senantiasa melihat dan memperhatikan perangai kita. 'Ibadah yang ihsan ini akan menumbuhkan rasa dekat dan mesra dengan Allah, sehingga menimbulkan rasa cinta kepada-Nya.
Rasa cinta ini akan menumbuhkan percaya diri yang sangat tinggi di dalam pribadi kita, sehingga rasa ketidak-stabilan oleh karena ketidak-pastian tadi menjadi sirna sama sekali, maka bersihlah diri dari sikap was-was atau ragu akan kasih sayang Allah, sebagaimana difirmankan Allah di dalam al-Qur'an:
"Demi pribadi dan penyempurnaannya; yang berpotensi sesat dan bertaqwa. Sungguh menanglah mereka yang mensucikannya; Sungguh rugilah mereka yang mengotorinya." (Q.91 : 7-10)
Dengan demikian ananiah atau jalan pintas untuk mengatasi rasa ketidak-pastian tadi tidak akan tumbuh di dalam pribadi yang mau ber'ibadah ihsan dan khusyu'. Berdasarkan ayat-ayat ini, jelaslah bagi mereka yang sadar, bahwa pensucian pribadi melalui 'ibadah yang ihsan dan khusyu' bukanlah sekadar kewajiban pribadi, tapi lebih merupakan suatu kebutuhan muthlak, yang tak mungkin diabaikan.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Ragam Keislaman - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -