Archive for 2017

Namimah

                               Namimah


Al-Baghawi rahimahullah menjelaskan bahwa namimah adalah mengutip suatu perkataan dengan tujuan untuk mengadu domba antara seseorang dengan si pembicara. Adapun Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalaani rahimahullah mengatakan bahwa namimah tidak khusus itu saja. Namun intinya adalah membeberkan sesuatu yang tidak suka untuk dibeberkan. Baik yang tidak suka adalah pihak yang dibicarakan atau pihak yang menerima berita, maupun pihak lainnya. Baik yang disebarkan itu berupa perkataan maupun perbuatan. Baik berupa aib ataupun bukan.
Hukum dan Ancaman Syariat Terhadap Pelaku Namimah
Namimah hukumnya haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Banyak sekali dalil-dalil yang menerangkan haramnya namimah dari Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, yang artinya, “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur    fitnah.”(QS.AlQalam:10-11)
Dalam sebuah hadits marfu’ yang diriwayatkan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu disebutkan, “Tidak akan masuk surga bagi Al Qattat (tukang adu domba).” (HR. Al Bukhari)
Ibnu Katsir menjelaskan, “Al qattat adalah orang yang menguping (mencuri dengar pembicaraan) tanpa sepengetahuan mereka, lalu ia membawa pembicaraan tersebut kepada orang lain dengan tujuan mengadu domba.”
Perkataan “Tidak akan masuk surga…” sebagaimana disebutkan dalam hadist di atas bukan berarti bahwa pelaku namimah itu kekal di neraka. Maksudnya adalah ia tidak bisa langsung masuk surga. Inilah madzhab Ahlu Sunnah wal Jama’ah untuk tidak mengkafirkan seorang muslim karena dosa besar yang dilakukannya selama ia tidak menghalalkannya (kecuali jika dosa tersebut berstatus kufur akbar semisal mempraktekkan sihir -ed).
Pelaku namimah juga diancam dengan adzab di alam kubur. Ibnu Abbas meriwayatkan, “(suatu hari) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua kuburan lalu berkata, lalu bersabda, “Sesungguhnya penghuni kedua kubur ini sedang diadzab. Dan keduanya bukanlah diadzab karena perkara yang berat untuk ditinggalkan. Yang pertama, tidak membersihkan diri dari air kencingnya. Sedang yang kedua, berjalan kesana kemari menyebarkan namimah.” (HR. Al-Bukhari)
Sikap Terhadap Pelaku Namimah
Imam An-Nawawi berkata, “Dan setiap orang yang disampaikan kepadanya perkataan namimah, dikatakan kepadanya: “Fulan telah berkata tentangmu begini begini. Atau melakukan ini dan ini terhadapmu,” maka hendaklah ia melakukan enam perkara berikut:
1.    Tidak membenarkan perkataannya. Karena tukang namimah adalah orang fasik.
2.    Mencegahnya dari perbuatan tersebut, menasehatinya dan mencela perbuatannya.
3.    Membencinya karena Allah, karena ia adalah orang yang dibenci di sisi Allah. Maka wajib membenci orang yang dibenci oleh Allah.
4.    Tidak berprasangka buruk kepada saudaranya yang dikomentari negatif oleh pelaku namimah.
5.    Tidak memata-matai atau mencari-cari aib saudaranya dikarenakan namimah yang didengarnya.
6.    Tidak membiarkan dirinya ikut melakukan namimah tersebut, sedangkan dirinya sendiri melarangnya. Janganlah ia menyebarkan perkataan namimah itu dengan mengatakan, “Fulan telah menyampaikan padaku begini dan begini.” Dengan begitu ia telah menjadi tukang namimah karena ia telah melakukan perkara yang dilarang tersebut.”.
Bukan Termasuk Namimah
Apakah semua bentuk berita tentang perkataan/perbuatan orang dikatakan namimah? Jawabannya, tidak. Bukan termasuk namimah seseorang yang mengabari orang lain tentang apa yang dikatakan tentang dirinya apabila ada unsur maslahat di dalamnya. Hukumnya bisa sunnat atau bahkan wajib bergantung pada situasi dan kondisi. Misalnya, melaporkan pada pemerintah tentang orang yang mau berbuat kerusakan, orang yang mau berbuat aniaya terhadap orang lain, dan lain-lain. An-Nawawi rahimahullah berkata, “Jika ada kepentingan menyampaikan namimah, maka tidak ada halangan menyampaikannya. Misalnya jika ia menyampaikan kepada seseorang bahwa ada orang yang ingin mencelakakannya, atau keluarga atau hartanya.”
Pada kondisi seperti apa menyebarkan berita menjadi tercela? Yaitu ketika ia bertujuan untuk merusak. Adapun bila tujuannya adalah untuk memberi nasehat, mencari kebenaran dan menjauhi/mencegah gangguan maka tidak mengapa. Akan tetapi terkadang sangat sulit untuk membedakan keduanya. Bahkan, meskipun sudah berhati-hati, ada kala niat dalam hati berubah ketika kita melakukannya. Sehingga, bagi yang khawatir adalah lebih baik untuk menahan diri dari menyebarkan berita.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Seseorang selayaknya memikirkan apa yang hendak diucapkannya. Dan hendaklah dia membayangkan akibatnya. Jika tampak baginya bahwa ucapannya akan benar-benar mendatangkan kebaikan tanpa menimbulkan unsur kerusakan serta tidak menjerumuskan ke dalam larangan, maka dia boleh mengucapkannya. Jika sebaliknya, maka lebih baik dia diam.”
Bagaimana Melepaskan Diri dari Perbuatan Namimah
 Janganlah rasa tidak suka atau hasad kita pada seseorang menjadikan kita berlaku jahat dan tidak adil kepadanya, termasuk dalam hal ini adalah namimah. Karena betapa banyak perbuatan namimah yang terjadi karena timbulnya hasad di hati. Lebih dari itu, hendaknya kita tidak memendam hasad (kedengkian) kepada saudara kita sesama muslim. Hasad serta namimah adalah akhlaq tercela yang dibenci Allah karena dapat menimbulkan permusuhan, sedangkan Islam memerintahkan agar kaum muslimin bersaudara dan bersatu bagaikan bangunan yang kokoh.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian saling mendengki, saling membenci, saling bermusuhan, dan janganlah kamu menjual barang serupa yang sedang ditawarkan saudaramu kepada orang lain, dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim)
Berusaha dan bersungguh-sungguhlah untuk menjaga lisan dan menahannya dari perkataan yang tidak berguna, apalagi dari perkataan yang karenanya saudara kita tersakiti dan terdzalimi. Bukankah mulut seorang mukmin tidak akan berkata kecuali yang baik.
Semoga Allah Ta’ala selalu melindungi kita dari kejahatan lisan kita dan tidak memasukkan kita ke dalam golongan manusia yang merugi di akhirat dikarenakan lisan yang tidak terjaga, “Allahumma inni a’uudzubika min syarri sam’ii wa min syarri bashori wa min syarri lisaanii wa min syarri maniyyii.” (Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari kejahatan pendengaranku, penglihatanku, lisanku, hatiku dan kejahatan maniku.)

Ananiah (egoisme)

                                     Ananiah (egoisme)



Ananiyah berasal dari kata ana artinya ‘aku’, Ananiyah berarti ‘keakuan’. Sifat ananiyah ini biasa disebut egoistis yaitu sikap hidup yang terlalu mementingkan diri sendiri bahkan jika perlu dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Sikap ini adalah sikap hidup yang tercela, karena cenderung berbuat yang dapat merusak tatanan pergaulan kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari penyakit mental ini dapat diketahui dari sikapnya yang selalu mementingkan dan mengutamakan kepentingan dirinya diatas segala-galanya, tanpa mengindahkan kepentingan orang lain.
Memanglah manusia ini dilahirkan sebagai individu yang bebas dan unique. Perangai mendahulukan diri terhadap orang lain ini kenyataannya memang perlu, jika manusia ingin terus wujud di dunia ini. Hak mendahulukan diri ini pun diakui dan dibenarkan oleh Allah SWT, namun ada tempat dan batasnya. Hak ini, yang biasa disebut hak-hak pribadi (privacy), jelas diakui sepenuhnya oleh Allah SWT.

Hak mementingkan atau mendahulukan kepentingan diri ini dianjurkan Allah agar disalurkan kepada usaha lebih mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) dengan 'ibadah yang lebih banyak dan lebih ikhlash. Usaha meningkatkan kualitas iman sedemikian sehingga mencapai tingkat taqwa yang istiqamah sangatlah digalakkan oleh RasuluLlah SAW, dan diulang-ulang di dalam al-Qur'an.
Di samping itu kita pun diwajibkan pula menghormati hak individu orang lain. Misalnya di dalam al-Qur'an diterangkan, bahwa jika akan berkunjung ke rumah orang lain, maka kita diharamkan memasuki rumah orang itu sebelum mendapat izin terlebih dahulu dari penghuni rumah. Caranya minta izin itu ialah dengan memberi salam, dan menunggu jawaban. Jika sesudah tiga kali memberi salam tidak juga mendapat jawaban, maka itu tanda bahwa kita tidak diterima oleh yang punya rumah, maka kita wajib membatalkan niat akan berkunjung itu. Ini salah satu hukum yang menjamin kemerdekaan dan hak individu.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu masuki rumah yang bukan rumahmu, kecuali sesudah mendapat izin dari, dan sesudah mengucapkan salaam kepada penghuninya. Hal ini terbaik bagi kamu jika kamu mengerti. Sekiranya tidak Kamu dapati seorang pria pun di dalamnya, maka jangan kamu masuki sampai kamu mendapat izin, dan jika dikatakan kepadamu 'pergilah' maka hendaklah kamu pergi; yang demikian itu lebih bersih buat kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tindak tandukmu." (Q. 24 : 27,28).
Kenyataan lain yang harus pula diakui oleh manusia ialah, bahwa ia tak mungkin hidup sendiri di muka bumi ini. Setiap orang membutuhkan yang lainnya. Oleh karena itu Allah telah rnenciptakan hukum yang menentukan batas-batas antara pemenuhan kepentingan diri terhadap kepentingan bersama (masyarakat) secara seimbang dan serasi (harmonis).
Kita lahir sebagai individu, dan akan mati sebagai individu. Di dalam masa hidup yang kita tempuh di antara lahir dan mati itu kita akan terikat oleh ketentuan-ketentuan bermasyarakat, yang tak mungkin pula kita abaikan demi kelestarian hidup bersama itu. Batas-batas antara kedua kepentingan ini akan sangat sukar jika harus ditentukan oleh manusia sendiri, karena setiap diri akan cenderung lebih mendahulukan kepentingan dirinya terhadap kepentingan orang lain. Setiap orang cenderung akan berpikir subjective apabila menyangkut kepentingan dirinya. Oleh karena itulah, maka peranan hukum Allah, Yang Maha Mengetahui akan lekak-liku jiwa manusia, dalam hal ini muthlak perlu.
Obatnya ialah 'ibadah yang ihsan dan khusyu', sehingga kita betul-betul bisa merasa ridha menerima ketentuan Allah terhadap diri kita masing-masing. 'Ibadah yang ihsan ini berfungsi membersihkan pribadi ini dari sikap ananiah ini. 'Ibadah yang ihsan telah diterangkan oleh RasuluLlah sebagai merasakan bahwa kita melihat Allah dalam 'Ibadah itu, karena walaupun tak mungkin melihat-Nya, tapi kita dapat merasakan, bahwa Allah senantiasa melihat dan memperhatikan perangai kita. 'Ibadah yang ihsan ini akan menumbuhkan rasa dekat dan mesra dengan Allah, sehingga menimbulkan rasa cinta kepada-Nya.
Rasa cinta ini akan menumbuhkan percaya diri yang sangat tinggi di dalam pribadi kita, sehingga rasa ketidak-stabilan oleh karena ketidak-pastian tadi menjadi sirna sama sekali, maka bersihlah diri dari sikap was-was atau ragu akan kasih sayang Allah, sebagaimana difirmankan Allah di dalam al-Qur'an:
"Demi pribadi dan penyempurnaannya; yang berpotensi sesat dan bertaqwa. Sungguh menanglah mereka yang mensucikannya; Sungguh rugilah mereka yang mengotorinya." (Q.91 : 7-10)
Dengan demikian ananiah atau jalan pintas untuk mengatasi rasa ketidak-pastian tadi tidak akan tumbuh di dalam pribadi yang mau ber'ibadah ihsan dan khusyu'. Berdasarkan ayat-ayat ini, jelaslah bagi mereka yang sadar, bahwa pensucian pribadi melalui 'ibadah yang ihsan dan khusyu' bukanlah sekadar kewajiban pribadi, tapi lebih merupakan suatu kebutuhan muthlak, yang tak mungkin diabaikan.

Cara menghindari perilaku gadab (marah)

Cara menghindari perilaku gadab (marah)

  1. Sering-sering membaca istigfar, dan berzikir kepada Allah swt
  2. Meninggalkan suatu hal yang dapat memancing marah
  3. Berpuasa juga salah satu cara untuk menhindari perilaku marah
  4. Menyadari bahwa permasalahan tidak akan selesai dengan marah, bahkan akan tambah rumit
  5. Menyadari bahwa marah tidak disukai oleh Allah swt dan orang lain
  6. Berusaha untuk bersikap lemah lembut, sabar, dan mudah memaafkan orang lain.

Bahayanya perilaku gadab (marah)

            Bahayanya perilaku gadab (marah)

  1. Tidak disukai oleh Allah swt dan orang lain
  2. Tidak baik untuk kesehatan atau mendatangkan penyakit seperti hipertensi (darah tinggi)
  3. Melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya, dan tak terkendali seperti merusak, membunuh, menyakiti dan lain sebagainya.

Contoh perilaku gadab (marah)

                    Contoh perilaku gadab (marah)

  1. Mudah terpancing emosi
  2. Sering melakukan tindakan-tindakan kasar, dan tak terkendali
  3. Mudah tersinggung
  4. Tidak menyelesaikan masalah dengan jalan yang baik (musyawarah, arif dan bijaksana) 
  5. Sering mengucapkan dengan kata-kata kasar/kotor

Pengertian gadab (marah)

                         Pengertian gadab (marah)

Marah atau gadab merupakan suatu luapan emosi karena disebabkan oleh tidak senangnya terhadap sesuatu, atau bisa juga diartikan dengan perasaan tidak senang/tidak rela atas perbuatan orang lain terhadap kita, sehingga ada perasaan untuk membalasnya. 
Perilaku gadab/marah ini akan mendorong mansusia bertingkah laku buruk dan jahat. Seorang pemarah termasuk orang yang iamannya tidak kuat atau lemah, hal ini dikarenakan mereka memiliki pandangan picik, berniat untuk balas dendam dan tidak dapat mengendekalikan hawa nafsunya dapat juga dikatakan bahwa orang yang marah adalah orang yang bersifat tidak sabar.
Sebaliknya, jika seseorang berpandangan luas dan dapat mengendalikan hawa nafsunya, maka ia akan bersikap arif atau bijaksana dalam menyelesaikan setiap masalah. Orang yang memiliki sifat pemarah ini disebut dengan gadab.
Orang mukmin yang baik selalu bersedia memaafkan kesalahan saudaranya, karena ia hanya mengharapkan ridha dari Allah swt. Allah swt berfirman dalam Q.S. Ali Imran ayat 134 yang artinya :
.... dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan...
Nabi Muhammad saw juga melarang kita untuk marah, seperti dalam hadits berikut ini :
Dari Abu Hurairoh rodhiyallahu ‘anhu, Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam (kemudian) mengatakan, “Wahai Nabi berikanlah aku wasiat/nasihat”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Janganlah engkau marah”. Kemudian orang tadi berkata lagi, “Wahai Nabi berikanlah aku wasiat/nasihat”. Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam pun mengatakan, “Janganlah engkau marah

Cara menghindari perilaku ghibah (menggunjing)

Cara menghindari perilaku ghibah (menggunjing)

Berikut ini cara menghindari perilku ghibah :
  • Menyadari bahwa perilaku ghibah tidak disukai oleh Allah swt dan dilarang untuk dilakukan
  • Berusaha untuk menjauhi perilaku ghibah dan melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat daripada ghibah
  • Menjauhi hal-hal yang dapat mendatangkan ghibah
  • Berkumpul dengan orang-orang yang shalih, dan meninggalkan sekelompok orang yang sedang menggunjing (ghibah)
  • Mengingatkan orang lain yang sedang ghibah

Bahaya perilaku gibah

                        Bahaya perilaku gibah

Perilaku ghibah juga ada bahayanya, dan berikut ini bahaya yang akan diterima bila melakukan perilaku ghibah yaitu :
  • Jikal hal-hal yang dibicarakan adalah sesuatu yang tidak benar, maka bisa mendatangkan fitnah, dalam Al Quran fitnah itu disebutkan lebih kejam daripada pembunuhan.
  • Mendatangkan kerusakan/permusuhan atau sikap tidak senang kepada seseorang
  • Tidak ada manfaatnya, waktu terbuang sia-sia
  • Mendapatkan dosa dari Allah swt

Contoh perilku ghibah

                                      Contoh perilku ghibah

Setelah mengetahui pengertian ghibah dan ghibah yang dibolehkan, berikut ini kami berikan contoh perilaku ghibah :
  • Membicarakan keburukan orang lain melalui lisan (misalnya antara ibu ibu rumah tetangga saat arisan yang membicarakan tetangganya yang tidak shalat).
  • Membicarakan keburukan/kejelekan orang lain melalui bahasa isyarat 
  • Membicarakan keburukan/kejelekan orang lain melalui gerakan tubuh dengan maksud mengolok-ngolok (misalnya, kepala dimiring-miringkan untuk mengejek tetangganya yang memiliki kepala miring).
  • Membicarakan keburukan/kejelekan orang lain melalui media massa seperti koran, majalah, media sosial, media berita online dan lain sebagainya.

Pengertian / definisi ghibah

Pengertian / definisi ghibah

Definisi dari ghibah adalah membicarakan keburukan/kejelekan/kekurangan orang lain untuk mencari-cari kesalahan orang lain baik jasmani, agama, kekayaan, akhlak, ataupun bentuk lahiriah lainnya. Ghibah atau menggunjing ini tidak hanya sebatas lisan saja, namun bisa terjadi dengan tulisan (media cetak, media online, sms dll), atau dengan menggunakan gerakan tubuh. 
Allah swt melarang kita untuk berbuat ghibah, dan menyuruh kita untuk menjauhinya karena ghibah digambarkan dengan sesuatu yang sangat jijik dan kotor yaitu ghibah sama saja dengan memakan daging saudaranya yang sudah mati. Selengkapnya dalam firman Allah swt dalam Q.S. Al Hujarat ayat 12 :
.... Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mat? Tentu kamu merasa jijik...
Setelah mengerti pengertian ghibah, yang harus diketahui bahwa tidak semua jenis ghibah dilarang oleh Allah swt, ada beberapa jenis ghibah yang dibolehkan dengan maksuda dan tujuan tertentu, yang mana tujuan itu benar dan tidak mungkin tercapai kecuali dengan ghibah. Berikut ini perilaku ghibah yang diperbolehkan : 
  • Melaporkan perbuatan aniaya/kejahatan yang dilakukan seseorang
  • Usaha untuk mengubah kemungkinan dan membantu seseorang keluar dari perbuatan maksiat
  • Ghibah untuk tujuan nasihat
  • Ghibah untuk memperingatkan pada kaum muslimin tentang suatu fatwa
  • Memberi penjelasan dengan suatu sebutan yang terkenal pada diri seseorang meskipun itu sesuatu yang buruk, seperti si bisu, si pincang dan lain sebagainya.

KAITAN IMAN, ISLAM DAN IHSAN

                KAITAN IMAN, ISLAM DAN IHSAN
 
 
Barang siapa yang telah bersifat Islam, maka ia dinamakan muslim, dan siapa yang yang bersifat Iman, maka ia dinamai orang m’umin. Dan sesungguhnya islam dan iman itu tidak dapat dipisahkan.
Dengan demikian, apabila seorang Islam tetapi tidak Iman, maka ia tidak akan mendapat faedah di akhirat, walapun dhahirnya Islam. Inilah yang disebut dengan kafir zindiq dan akan berada di dalam siksa neraka selama-lamanya. Begitu juga sebaliknya, jika seorang ber-iman tetapi tidak Islam, maka ia tidak selamat dari siksa neraka yang amat hebat, mereka itu bukanlah mu’min muslim asli  tetapi mu’min muslim tabai, yang ber-iman dan ber-islam karena mengikuti kedua orang tuanya atau nenek moyangnya.
Antara iman, islam dan ihsan, ketiganya tak bisa dipisahkan oleh manusia di dunia ini, kalau diibaratkan hubungan diantara ketiganya adalah seperti segitiga sama sisi yang sisi satu dan sisi lainya berkaitan erat. Segitiga tersebut tidak akan terbentuk kalau ketiga sisinya tidak saling mengait. Jadi manusia yang bertaqwa harus bisa meraih dan menyeimbangkan antara iman, islam dan ihsan.
Hubungan timbal balik  antara ketiganya. Iman yang merupakan landasan awal,  bila diumpamakan sebagai pondasi dalam keberadaan suatu rumah, sedangkan islam merupakan entitas yang berdiri diatasnya. Maka, apabila iman seseorang lemah, maka islamnya pun akan condong, lebih lebih akan rubuh. Dalam realitanya mungkin pelaksanaan sholat akan tersendat-sendat, sehingga tidak dilakukan pada waktunya, atau malah mungkin tidak terdirikan. Zakat tidak tersalurkan, puasa tak terlaksana, dan lain sebagainya. Sebaliknya, iman akan kokoh bila islam seseorang ditegakkan. Karena iman terkadang bisa menjadi tebal, kadang pula menjadi tipis, karena amal perbuatan yang akan mempengaruhi hati. Sedang hati sendiri merupakan wadah bagi iman itu. Jadi, bila seseorang tekun beribadah, rajin taqorrub, maka akan semakin tebal imannya, sebaliknya bila seseorang berlarut-larut dalam kemaksiatan, kebal akan dosa, maka akan berdampak juga pada tipisnya iman.
Adapun ihsan, bisa diumpamakan sebagai hiasan rumah, bagaimana rumah tersebut bisa terlihat mewah, terlihat indah, dan megah. Sehingga padat menarik perhatian dari banyak pihak. Sama halnya dalam ibadah, bagaimana ibadah ini bisa mendapatkan perhatian dari sang kholiq, sehingga dapat diterima olehnya. Tidak hanya asal menjalankan perintah dan menjauhi larangannya saja, melainkan berusaha bagaimana amal perbuatan itu bisa bernilai plus dihadapan-Nya. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas kedudukan kita hanyalah sebagai hamba, budak dari tuhan, sebisa mungkin kita bekerja, menjalankan perintah-Nya untuk mendapatkan perhatian dan ridlonya. Disinilah hakikat dari ihsan.

Pengertian IHSAN


                   Pengertian IHSAN 

Pengertian IHSAN 

 
Ihsan berasal dari bahasa yang artinya berbuat baik/ kebaikan. Sedangkan menurut istilah yaitu perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang dengan niat hati beribadah kepada Allah SWT.
Para ulam menggolongkan Ihsan menjadi 4 bagian yaitu:
1. Ihsan kepada Allah
2. Ihsan kepada diri sendiri
3. Ihsan kepada sesama manusia
4. Ihsan bagi sesama makhluk

Untuk menelusuri ihsan secara mendalam» maka terlebih dahulu manusia harus kembali menyadari posisinya serta mandat yang diberikan Allah SWT kepadanya sebagai khalifah Allah. Sebagai khalifah, maka hendaknya ia menjadi hamba yang setia sebagaimana tujuan penciptaannya. Begitu pula tugas di bumi, ia harus memakmurkan bumi ini. Kedua tugas tersebut tidak boleh diabaikan sebab dapat mencelakakan manusia sendiri. Allah SWT berfirman; Telah ditimpakan kehinaan (krisis) kepada mereka (manusia) di mana saja berada, kecuali bagi mereka yang baik hubungannya dengan Allah dan kepada sesama manusia.

Al - Ghazali mengemukakan bahwa orang yang mau berhubungan langsung dengan Allah maka harus terlebih dahulu memperbaiki hubungannya dengan sesama manusia. Untuk mengenal Allah SWT maka sebelumnya perlu mengenal diri sendiri, karena pada diri sendiri setiap manusia ada unsur ketuhanan. Sementara cara untuk mengenal diri adalah dengan mengetahui proses kejadian manusia itu sendiri.
Tingkatan Ketiga: Ihsan
Ihsan memiliki satu rukun yaitu engkau beribadah kepada Allah Azza wa Jalla seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu dalam kisah jawaban Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Jibril Alaihissallam ketika ia bertanya tentang ihsan, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ.

Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka bila engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihatmu.”

Tidak ragu lagi, bahwa makna ihsan secara bahasa adalah memperbaiki amal dan menekuninya, serta mengikhlaskannya. Sedangkan menurut syari’at, pengertian ihsan sebagaimana penjelasan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam :

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ.

Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihatmu.”

Maksudnya, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan ihsan dengan memperbaiki lahir dan batin, serta menghadirkan kedekatan Allah Azza wa Jalla, yaitu bahwasanya seakan-akan Allah berada di hadapannya dan ia melihat-Nya, dan hal itu akan mengandung konsekuensi rasa takut, cemas, juga pengagungan kepada Allah Azza wa Jalla, serta mengikhlaskan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan memperbaikinya dan mencurahkan segenap kemampuan untuk melengkapi dan menyempurnakannya
Tanda-tanda seseorang mukmin menjadi seorang mukhsin yaitu:
1. Selalu mengingat Allah
2. Senang berbuat kebaikan
3. Meninggalkan hal-hal yang tidak berguna
4. Istiqomah

Pengertian Islam


                                         Pengertian Islam



Pengertian Islam

Islam secara etimologi (bahasa) berarti tunduk, patuh, atau berserah diri. Adapun menurut syari’at (terminologi), apabila dimutlakkan berada pada dua pengertian:

Pertama: Apabila disebutkan sendiri tanpa diiringi dengan kata iman, maka pengertian Islam mencakup seluruh agama, baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), juga seluruh masalah ‘aqidah, ibadah,  perkataan dan perbuatan.

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:


إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ


“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” [Ali ‘Imran: 19)
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” [Ali ‘Imran: 85]
Menurut Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahulllah, definisi Islam adalah:

اْلإِسْلاَمُ: َاْلإِسْتِسْلاَمُ ِللهِ بِالتَّوْحِيْدِ وَاْلإِنْقِيَادُ لَهُ باِلطَّاعَةِ وَالْبَرَاءَةُ مِنَ الشِّرْكِ وَأَهْلِهِ.
Islam adalah berserah diri kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tunduk dan patuh kepada-Nya dengan ketaatan, dan berlepas diri dari perbuatan syirik dan para pelakunya.”

Kedua: Apabila kata Islam disebutkan bersamaan dengan kata iman, maka yang dimaksud Islam adalah perkataan dan amal-amal lahiriyah yang dengannya terjaga diri dan hartanya , baik dia meyakini Islam atau tidak. Sedangkan kata iman berkaitan dengan amal hati.
Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:


قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا وَلَٰكِن قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ ۖ وَإِن تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُم مِّنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Orang-orang Arab Badui berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk (Islam),’ karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalmu. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.’” [Al-Hujuraat: 14]
Tidak diragukan lagi bahwa prinsip agama Islam yang wajib diketahui dan diamalkan oleh setiap muslim ada tiga, yaitu; (1) mengenal Allah Azza wa Jalla, (2) mengenal agama Islam beserta dalil-dalilnya [4], dan (3) mengenal Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mengenal agama Islam adalah landasan yang kedua dari prinsip agama ini dan padanya terdapat tiga tingkatan, yaitu Islam, Iman dan Ihsan. Setiap tingkatan mempunyai rukun sebagai berikut:
Islam memiliki lima rukun, yaitu:
1.        Bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan Allah.
2.        Menegakkan shalat.
3.        Membayar zakat.
4.        Puasa di bulan Ramadhan
5.        Menunaikan haji ke Baitullah bagi yang mampu menuju ke sana.
Kelima rukun Islam ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ;

اْلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ، وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً.
“Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah jika engkau mampu menuju ke sana.
Juga sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ وَحَجِّ الْبَيْتِ.
“Islam dibangun atas lima hal: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah.”

Pengertian Iman

                                           Pengertian Iman

Pengertian Iman

 

 

Pengertian iman dari bahasa Arab yang artinya percaya. Sedangkan menurut istilah, pengertian iman  adalah membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan tindakan (perbuatan). Dengan demikian, pengertian iman kepada Allah adalah membenarkan dengan hati bahwa Allah itu benar-benar ada dengan segala sifat keagungan dan kesempurnaanNya, kemudian pengakuan itu diikrarkan dengan lisan, serta dibuktikan dengan amal perbuatan secara nyata.
Jadi, seseorang dapat dikatakan sebagai mukmin (orang yang beriman) sempurna apabila memenuhi ketiga unsur keimanan di atas. Apabila seseorang mengakui dalam hatinya tentang keberadaan Allah, kemudian diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan. Sebab, ketiga unsur keimanan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.
Beriman kepada Allah adalah kebutuhan yang sangat mendasar bagi seseorang. Allah memerintahkan agar ummat manusia beriman kepada-Nya, sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman. Tetaplah beriman kepada Allah dan RasulNya (Muhammad) dan kepada Kitab (Al Qur’an) yang diturunkan kepada RasulNya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasulNya, dan hari kemudian, maka sungguh orang itu telah tersesat sangat jauh.” (Q.S. An Nisa : 136)
Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa Bila kita ingkar kepada Allah, maka akan mengalami kesesatan yang nyata. Orang yang sesat tidak akan merasakan kebahagiaan dalam hidup. Oleh karena itu, beriman kepada Allah sesungguhnya adalah untuk kebaikan manusia.
Iman memiliki beberapa tingkatan, sebagaimana terdapat dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :


اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ.
“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang atau lebih dari enam puluh cabang, cabang yang paling tinggi adalah ucapan laa ilaaha illallaah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (rintangan) dari jalan, dan malu adalah salah satu cabang iman.”

Rukun Iman ada enam, yaitu:
1.Iman kepada Allah.
2. Iman kepada Malaikat-Malaikat-Nya.
3. Iman kepada Kitab-Kitab-Nya.
4. Iman kepada Rasul-Rasul-Nya.
5. Iman kepada hari Akhir.
6. Iman kepada takdir yang baik dan buruk.
Keenam rukun iman ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu dalam jawaban Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atas pertanyaan Malaikat Jibril Alaihissallam tentang iman, yaitu:


أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلاَئِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ.
“Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari Akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik dan buruk.”

Pengertian & Macam Riya yang Harus dihindari


Pengertian & Macam Riya yang Harus dihindari


Riya dalam Islam adalah merupakan sifat tercela. Namun islam juga memperbolehkan riya dengan alasan tertentu yang akan dijelaskan di bawah ini. Pengertian riya dalam Islam adalah memperlihatkan amalan kebajikan, kebaikan dengan tujuan dilihat dan dipuji orang lain dikarenakan amal tersebut. Tegasnya pengertian riya adalah mengerjakan sesuatu amal perbuatan dengan tidak ikhlas yaitu dengan karena sesuatu untuk mendapat perhatian yang lain dari Allah.
Hukum sifat riya
Riya ibadah yang haram, tetapi tidak merusakkan sahnya suatu amal ibadah, jadi ibadahnya tetap sah. Suatu contoh jika sholat yang kita kerjakan memperlihatkan kekhusyu'an sholat, memperlihatkan memnuhi syarat dan rukunnya, maka sholatnya sah tetapi berdosa. Riya seperti ini adalah dilarang sesuai dengan dalil firman Allah swt. yang berbunyi :
فَوَيۡلٞ لِّلۡمُصَلِّينَ. ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِهِمۡ سَاهُونَ.  ٱلَّذِينَ هُمۡ يُرَآءُونَ 
Artinya : Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang mengerjakan shalatnya dengan lalai dan riya dengan amal mereka dan enggan meminjamkan barang yang berguna. 
Riya ibadah yang boleh, jika maksudnya adalah ingin mengajar atau mendidik. Suatu contoh seorang guru agama memperagakan tata cara sholat yang baik dengan tujuan dan harapan agar murid atau orang yang melihatnya dapat meniru tata cara sholat yang baik dan benar seperti yang guru tersebut praktekkan. Contoh lain adalah misalnya, menyebutkan jumlah sedekah yang ia berikan untuk pembangunan masjid dan lainnya, dengan maksud agar orang lain berlomba-lomba untuk bersedekah.
Jenis atau macam riya yang dilarang
Riya dalam islam itu ada dua jenis yaitu sebagai berikut :
  • Riya dunia yaitu karena mengharapkan jabatan atau kedudukan dalam hati manusia dengan perantara kerja dunia. Pelaku riya memperlihatkan semua kemampuannya dalam bekerja dihadapan atasan atau pemimpin mereka dengan tujuan mendapatkan kedudukan atau pangkat yang lebih tinggi. Apabila tujuan yang ingin dicapainya tidak berhasil, maka umumnya pelaku riya seperti ini akan malas dalam bekerja.
  • Riya ibadah, yaitu dalam beribadah tidak karena Allah saja. Suatu contoh seorang yang sholat dengan bacaan keras supaya didengar dan dilihat oleh orang lain. Meskipun sholatnya sah, namun pelaku riya seperti ini berdosa karena riya.
Sifat riya adalah termasuk penyakit hati yang sangat berbahaya. Adapun bahan yang dapat dijadikan sebagai alat untuk perbuatan riya atau pamer adalah sebagai berikut :
  • Tubuh
  • Pakaian
  • Ucapan
  • Perbuatan
  • Pengikut
Ada juga perbuatan riya dengan menggunakan hal-hal lain seperti yang sudah disebutkan di atas, yang paling buruk di antaranya semuanya adalah perbuatan riya dengan berkedok agama.
Perbuatan riya memamerkan tubuh
Seseorang memamerkan tubuhnya sehat, karena mengatakan kepada orang lain bahwa yang ia makan adalah makanan yang diperolehnya dengan cara halal, menganggap dirinya bersih dan tidak pernah berbuat yang haram dan dilarang serta syubhat (tidak mendekati haram atau halal). Secara singkat riya ini adalah menganggap bahwa dirinya adalah bersih dari barang yang haram.
Perbuatan riya hiasan
Pelaku riya ini adalah memamerkan dan memperlihatkan perhiasannya yang banyak, pakaiannya bagus-bagus, mahal dan melebihi orang lain. Atau bisa juga sebaliknya, ia memakai pakaian yang kasar agar dianggap orang sudah zuhud (menjauhi keduniaan)
Riya dengan ucapan
Adalah riyanya ahli agama dengan cara memperlihatkan, memamerkan ilmunya yang cukup banyak dengan ucapan-ucapan yang mengandung hikmat, bercepat-cepat mengucapkan hadits yang diucapkan orang lain itu tidak saheh dan yang saheh adalah ini dan itu dengan maksud ingin memamerkan dan menunjukkan ilmu dan kepandaiannya. Pelaku riya ucapan ini juga gemar berbantah dengan tujuan untuk menjatuhkan lawan bicaranya sehingga berharap orang lain menganggap dirinya yang benar-benar alim.
Riya dengan amal perbuatan
Contoh riya dengan perbuatan misalnya riya dengan menunjukkan lamanya berdiri pada waktu sholat, panjang sujud dan ruku' yang dilakukan, melamakan wiridnya yang kesemuanya itu dilakukan dengan niat pamer.
Riya dengan banyak pengikut
Suatu contoh misalnya dengan mengatakan bahwa ia memiliki banyak pengikut, banyak tamu serta banyak relasi atau teman-teman hubungannya. Contoh lain adalah orang yang memaksakan agar dikunjungi oleh ulama yang terkenal dan terkemuka dengan tujuan agar orang-orang membicarakannya bahwa ulama terkenal itu berziarah ke rumahnya, dan para ahli agama itupun senang kepadanya.
Riya dengan tujuan pamer belaka adalah merupakan sifat tercela yang dilarang dan diharamkan oleh Allah swt. Oleh sebab itulah kita harus menghindari berbagai macam jenis riya yang dilarang, baik riya dunia mauoun riya ibadah. Karena amal perbuatan yang dilakukan dengan riya tidak akan bernilai apapun di hadapan Allah dan tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali hanya sia-sia.

Macam & Jenis Penyakit Hati / Sifat Buruk – Iri Hati, Dengki, Hasut, Fitnah, Buruk Sangka, dan Khianat – Definisi & Pengertian

Macam & Jenis Penyakit Hati / Sifat Buruk – Iri Hati, Dengki, Hasut, Fitnah, Buruk Sangka, dan Khianat – Definisi & Pengertian

1. Iri hati
Iri hati adalah suatu sifat yang tidak senang akan rizki / rejeki dan nikmat yang didapat oleh orang lain dan cenderung berusaha untuk menyainginya. Iri hati yang diperbolehkan dalam ajaran islam adalah iri dalam hal berbuat kebajikan, seperti iri untuk menjadi pintar agar dapat menyebarkan ilmunya di kemudian hari. Atau iri untuk membelanjakan harta di jalan kebenaran.
Sebab-sebab Timbulnya sifat Iri :
Kalau kita cermati dari kisah Qabil dan Habil, kita dapat melihat bahwa sifat iri ini muncul karena :
a. Adanya rasa sombong didalam diri seseorang
b. Kurang percaya diri
c. Kurang mensyukurui nikmat Allah
d. Tidak merasa cukup terhadap sesuatu yang telah dimilikinya.
e. Tidak percaya kepada qadha dan qadar.
Akibat dari sifat iri tersebut antara lain :
a. Merasa kesal dan sedih tanpa ada manfaatnya bahkan bisa dibarengi dosa.
b. Merusak pahala ibadah
c. Membawa pada perbuatan maksiat, sebab orang yang iri tidak bisa lepas dari perbuatan menyinggung, berdusta, memaki, dan mengumpat
.d. Masuk Neraka
e. Mencelakakan orang lain
f. Menyebabkan buta hati
g. Mengikuti ajakan syetan
h. Meresahkan orang lain
i. Menimbulkan perselisihan dan perpecahan
j. Meruntuhkan sendi-sendi persatuan masyarakat
k. Menimbulkan ketidaktentraman dalam diri, keluarga, masyarakat, atau orang lain.
Diantara cara-cara menghindari sifat iri sebagai berikut :
a. Menumbuhkan kesadaran didalam diri bahwa kenikmatan itu pemberian Allah SWT, sehingga wajar apabila suatu saat Allah memberi nikmat kepada seseorang dan tidak memberikannya kepada diri kita
.b. Membiasakan diri bersyukur kepada Allah SWT dan merasa cukup terhadap segala sesuatu yang telah diterimanya
.c. Menjalin persaudaraan dengan orang lain, sehingga terhindar dari perasaan benci dan tidak senang apabila orang lain mendapatkan keberuntungan (kesenangan)
.d. Membiasakan diri ikut merasa senang apabila orang lain mendapat keuntungan (kesenangan).
2. Dengki
Dengki adalah sikap tidak senang melihat orang lain bahagia dan berusaha untuk menghilangkan nikmat tersebut. Sifat ini sangat berbahaya karena tidak ada orang yang suka dengan orang yang memiliki sifat seperti ini.
Adapun cara yang bisa ditempuh untuk menghindari penyakit dengki, antara lain :
a. Menjauhi semua penyebabnya.
b. Mewaspadai bahayanya
.c. Membiasakan diri untuk memberikan dukungan positif terhadap apa yang dialami saudara kita
.d. Mempererat tali persaudaraan sehingga terjalin kerukunan dan persaudaraan.
e. Selalu berdzikir, sehingga hati merasa dekat dengan Allah SWT.
f. Ilmu dan amal.•
3. Hasut / Hasud / Provokasi
Hasud adalah suatu sifat yang ingin selalu berusaha mempengaruhi orang lain agar amarah / marah orang tersebut meluap dengan tujuan agar dapat memecah belah persatuan dan tali persaudaraan agar timbul permusuhan dan kebencian antar sesama.
4. Fitnah
Fitnah lebih kejam dari pembunuhan adalah suatu kegiatan menjelek-jelekkan, menodai, merusak, menipu, membohongi seseorang agar menimbulkan permusuhan sehingga dapat berkembang menjadi tindak kriminal pada orang lain tanpa bukti yang kuat.
5. Buruk Sangka
Buruk sangka adalah sifat yang curiga atau menyangka orang lain berbuat buruk tanpa disertai bukti yang jelas.
6. Khianat / Hianat
Hianat adalah sikap tidak bertanggungjawab atau mangkir atas amanat atau kepercayaan yang telah dilimpahkan kepadanya. Khianat biasanya disertai bohong dengan mengobral janji. Khianat adalah ciri-ciri orang munafik. Orang yang telah berkhianat akan dibenci orang disekitarnya dan kemungkinan besar tidak akan dipercaya lagi untuk mengemban suatu tanggung jawab di kemudian hari.

- Copyright © Ragam Keislaman - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -