Namimah
Al-Baghawi rahimahullah menjelaskan bahwa namimah adalah mengutip suatu
perkataan dengan tujuan untuk mengadu domba antara seseorang dengan si
pembicara. Adapun Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalaani rahimahullah
mengatakan bahwa namimah tidak khusus itu saja. Namun intinya adalah
membeberkan sesuatu yang tidak suka untuk dibeberkan. Baik yang tidak
suka adalah pihak yang dibicarakan atau pihak yang menerima berita,
maupun pihak lainnya. Baik yang disebarkan itu berupa perkataan maupun
perbuatan. Baik berupa aib ataupun bukan.
Hukum dan Ancaman Syariat Terhadap Pelaku Namimah
Namimah hukumnya haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.
Banyak sekali dalil-dalil yang menerangkan haramnya namimah dari Al
Qur’an, As Sunnah dan Ijma’. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, yang
artinya, “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah
lagi hina yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur
fitnah.”(QS.AlQalam:10-11)
Dalam sebuah hadits marfu’ yang diriwayatkan Hudzaifah radhiyallahu
‘anhu disebutkan, “Tidak akan masuk surga bagi Al Qattat (tukang adu
domba).” (HR. Al Bukhari)
Ibnu Katsir menjelaskan, “Al qattat adalah orang yang menguping (mencuri
dengar pembicaraan) tanpa sepengetahuan mereka, lalu ia membawa
pembicaraan tersebut kepada orang lain dengan tujuan mengadu domba.”
Perkataan “Tidak akan masuk surga…” sebagaimana disebutkan dalam hadist
di atas bukan berarti bahwa pelaku namimah itu kekal di neraka.
Maksudnya adalah ia tidak bisa langsung masuk surga. Inilah madzhab Ahlu
Sunnah wal Jama’ah untuk tidak mengkafirkan seorang muslim karena dosa
besar yang dilakukannya selama ia tidak menghalalkannya (kecuali jika
dosa tersebut berstatus kufur akbar semisal mempraktekkan sihir -ed).
Pelaku namimah juga diancam dengan adzab di alam kubur. Ibnu Abbas
meriwayatkan, “(suatu hari) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melewati dua kuburan lalu berkata, lalu bersabda, “Sesungguhnya penghuni
kedua kubur ini sedang diadzab. Dan keduanya bukanlah diadzab karena
perkara yang berat untuk ditinggalkan. Yang pertama, tidak membersihkan
diri dari air kencingnya. Sedang yang kedua, berjalan kesana kemari
menyebarkan namimah.” (HR. Al-Bukhari)
Sikap Terhadap Pelaku Namimah
Imam An-Nawawi berkata, “Dan setiap orang yang disampaikan kepadanya
perkataan namimah, dikatakan kepadanya: “Fulan telah berkata tentangmu
begini begini. Atau melakukan ini dan ini terhadapmu,” maka hendaklah ia
melakukan enam perkara berikut:
1. Tidak membenarkan perkataannya. Karena tukang namimah adalah orang fasik.
2. Mencegahnya dari perbuatan tersebut, menasehatinya dan mencela perbuatannya.
3. Membencinya karena Allah, karena ia adalah orang yang dibenci di
sisi Allah. Maka wajib membenci orang yang dibenci oleh Allah.
4. Tidak berprasangka buruk kepada saudaranya yang dikomentari negatif oleh pelaku namimah.
5. Tidak memata-matai atau mencari-cari aib saudaranya dikarenakan namimah yang didengarnya.
6. Tidak membiarkan dirinya ikut melakukan namimah tersebut,
sedangkan dirinya sendiri melarangnya. Janganlah ia menyebarkan
perkataan namimah itu dengan mengatakan, “Fulan telah menyampaikan
padaku begini dan begini.” Dengan begitu ia telah menjadi tukang namimah
karena ia telah melakukan perkara yang dilarang tersebut.”.
Bukan Termasuk Namimah
Apakah semua bentuk berita tentang perkataan/perbuatan orang dikatakan
namimah? Jawabannya, tidak. Bukan termasuk namimah seseorang yang
mengabari orang lain tentang apa yang dikatakan tentang dirinya apabila
ada unsur maslahat di dalamnya. Hukumnya bisa sunnat atau bahkan wajib
bergantung pada situasi dan kondisi. Misalnya, melaporkan pada
pemerintah tentang orang yang mau berbuat kerusakan, orang yang mau
berbuat aniaya terhadap orang lain, dan lain-lain. An-Nawawi
rahimahullah berkata, “Jika ada kepentingan menyampaikan namimah, maka
tidak ada halangan menyampaikannya. Misalnya jika ia menyampaikan kepada
seseorang bahwa ada orang yang ingin mencelakakannya, atau keluarga
atau hartanya.”
Pada kondisi seperti apa menyebarkan berita menjadi tercela? Yaitu
ketika ia bertujuan untuk merusak. Adapun bila tujuannya adalah untuk
memberi nasehat, mencari kebenaran dan menjauhi/mencegah gangguan maka
tidak mengapa. Akan tetapi terkadang sangat sulit untuk membedakan
keduanya. Bahkan, meskipun sudah berhati-hati, ada kala niat dalam hati
berubah ketika kita melakukannya. Sehingga, bagi yang khawatir adalah
lebih baik untuk menahan diri dari menyebarkan berita.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Seseorang selayaknya memikirkan
apa yang hendak diucapkannya. Dan hendaklah dia membayangkan akibatnya.
Jika tampak baginya bahwa ucapannya akan benar-benar mendatangkan
kebaikan tanpa menimbulkan unsur kerusakan serta tidak menjerumuskan ke
dalam larangan, maka dia boleh mengucapkannya. Jika sebaliknya, maka
lebih baik dia diam.”
Bagaimana Melepaskan Diri dari Perbuatan Namimah
Janganlah rasa tidak suka atau hasad kita pada seseorang menjadikan
kita berlaku jahat dan tidak adil kepadanya, termasuk dalam hal ini
adalah namimah. Karena betapa banyak perbuatan namimah yang terjadi
karena timbulnya hasad di hati. Lebih dari itu, hendaknya kita tidak
memendam hasad (kedengkian) kepada saudara kita sesama muslim. Hasad
serta namimah adalah akhlaq tercela yang dibenci Allah karena dapat
menimbulkan permusuhan, sedangkan Islam memerintahkan agar kaum muslimin
bersaudara dan bersatu bagaikan bangunan yang kokoh.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian saling
mendengki, saling membenci, saling bermusuhan, dan janganlah kamu
menjual barang serupa yang sedang ditawarkan saudaramu kepada orang
lain, dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim)
Berusaha dan bersungguh-sungguhlah untuk menjaga lisan dan menahannya
dari perkataan yang tidak berguna, apalagi dari perkataan yang karenanya
saudara kita tersakiti dan terdzalimi. Bukankah mulut seorang mukmin
tidak akan berkata kecuali yang baik.
Semoga Allah Ta’ala selalu melindungi kita dari kejahatan lisan kita dan
tidak memasukkan kita ke dalam golongan manusia yang merugi di akhirat
dikarenakan lisan yang tidak terjaga, “Allahumma inni a’uudzubika min
syarri sam’ii wa min syarri bashori wa min syarri lisaanii wa min syarri
maniyyii.” (Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari
kejahatan pendengaranku, penglihatanku, lisanku, hatiku dan kejahatan
maniku.)